Keberadaan Makam ini di ketahui oleh masyarakat yang datang bermukim membuka lahan baru sekitar pada tahun 1945-1950 dan menurut keyakinan masyarakat makam tersebut merupakan makam para wali dengan tanda tulisan hurup arab di batu nisan dan memiliki karomah, setelah banyak pemukiman yang di bangun oleh pendatang dan mengetahui lebih dekat lagi dan sesuai sejarah yang di tulis dengan daun lontar yang menjadi satu kesatuan sejarah dengan makam raja selaparang dengan nama “Makam Mudung Bawak Bakang”.

Secara administrasi keberadaan makam ini dulunya masuk menjadi wilayah Desa Perigi kecamatan Suela kabupaten Lombok timur, namun pada saat itu makam ini tidak pernah mendapat perhatian apalagi di bangun oleh pemerintah, baik Desa maupun kabupaten, dan hingga saat ini setelah terjadi perubahan system pemerintahan desa, dengan adanya pemekaran desa pada tahun 2010, maka secara adminisrasi keberadaan makam ini masuk menjadi wilayah administrasi Desa baru yaitu Desa Mekar sari kecamatan Suela kabupaten Lombok timur.

Baca juga:Program Lembaga ACT di Desa Mekar Sari

Semenjak berpisah dari Desa induk, warga masyarakat dan Pemerintah desa mekar sari berupaya melakukan pembangunan fasilitas makam, baik melalui dana desa dan swadaya masyarakat, adapun jenis bangunan yang di bangun melalui swadaya adalah pembangunan di luar makam berupa rumah atau bale tempat mealukan upacara dan tempat duduk para peziarah, namun pembangunan di dalam makam,baik tembok keliling maupun penataan makam belum di lakukan.

Lokasi makam ini berada pada ketinggian 600 – 700 M Dari Permukaan Laut (DPL) dengan jarak tempuh kekantor camat suela sekitar 2.500 M (2,5km) dan jarak tempuh kekabupaten sekitar 38.000 M (38 Km). Adapun Luas makam ini sekitar 5.600 m (5,6 Are) Dengan bentuk-bentuk Sbb:

1. Gundukan Berbentuk Segi Empat di dominasi oleh batu Santek (Batu Alam)
2. Batu Nisannya Terbuat Dari Batuan seperti Batu Lunak Dengan Tinggi = 80 Cm Tebal =13 Cm danLebar =26
3. Bentuk Batu Nisan ada yang gepeng dan khas berbentuk Kuno dengan tulisan hurup Arab,Warga menggunakan fasilitas Bale makam ini sebagai tempat melakukan ritual setiap kunjungan pada hari Senin Dan hari rabu, Sebagai ajang untuk melestarikan tradisi, salah satunya yaitu upacara “Selamatan Doe”.Upacara ini merupakan tradisi seluruh warga untuk mengunjungi dan mendo’akan Hasilpaskapanen yang dianggap sebagai rasa syukur atas keberhasilan pertanian atau perkebunan masyarakat. Kunjungan yang disebut ziarah ke tempat atau makam bukan hanya di lakukan oleh warga Desa setempat, Namun Sebagian besar masyarakat yang di luar des maupun luar kecamatan atau kabupaten untuk datang berziarah yang mereka yakini sebagai para leluhur mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia.

Fenomena ziarah sudah dilakukan secara tradisional dari waktu ke waktu sampai sekarang dan berlangsung turun temurun dan merupakan refleksi sosial keagamaan yang dilakukan menjelang pada bulan Ramadhan yaitu Sya’ban atau Ruwah. Tradisi ini juga merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. “Selamatan Doe”merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami.Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus ini tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), namun juga memelihara akan kelangsungan tempat ziarah itu sendiri.